NPF dalam Bank Syariah

Menurut Kamus Bank Indonesia, Non Performing loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF) adalah kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi kurang lancar, diragukan dan macet. Termin NPL diperuntukkan bagi bank umum, sedangkan NPF untuk bank syariah.

Luh Gede Meydianawathi (2007 : 138) menyatakan bahwa, Non Performing Loans (NPLs)menunjukkan kemampuan kolektibilitas sebuah bank dalam mengumpulkan kembali kredit yang dikeluarkan oleh bank sampai lunas. NPLs merupakan persentase jumlah kredit bermasalah (dengan kriteria kurang lancar, diragukan, dan macet) terhadap total kredit yang dikeluarkan bank. NPLs mempunyai hubungan negatif dengan penawaran kredit.
Sedangkan Non Performing Financing atau NPF, seperti halnya Non Performing Loan /NPL bank konvensional, timbul karena masalah yang terjadi dalam proses persetujuan pembiayaan di internal bank, atau setelah pembiayaan diberikan. Namun, NPF dan NPL terjadi pada sistim yang berbeda. Sistim perbankan syariah memiliki faktor fundamental yang dapat menahan timbulya NPF agar tidak meluas; tetapi, sistim perbankan konvensional memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya NPL.Faktor fundamental yang melandasi transaksinya adalah sebagai berikut. Dari sisi aktiva neraca, bank syariah hanya mengenal kata “pembiayaan” sebagai kegiatan utamanya, dan tidak memberi pinjaman uang seperti pada bank konvensional. Pemberian pinjaman uang pada bank syariah bersifat sosial, dan tidak berbunga. Transaksi komersialnya dilaksanakan melalui jual-beli dengan akad murabaha, sewa-menyewa dengan akadijarah, dan kerja sama menjalankan suatu bentuk usaha/bisnis dengan  mudharabah ataumusyarakah.

Pembiayaan tidak boleh mengandung riba, bersifat gharar dan maysir. Riba atau bunga, yang ditetapkan di muka terlepas apakah usaha menguntungkan atau merugi,  jelas manambah risiko bisnis. Risiko yang lebih besar akan mendorong timbulnya NPL. Sebagai pengganti bunga, bank syariah mengfokuskan diri pada perolehan keuntungan dari transaksi bersama nasabahnya. Keuntungan dari usaha tidak ditetapkan di muka, tetapi tergantung pada realisasi nominal yang sesungguhnya. Pada akad muarabaha, misalnya, bank membelikan barang yang dibutuhkan, dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah  dengan tambahan harga sebagai keuntungan bank. Nasabah dapat mengangsur pembeliannya itu kepada bank. Pada akad ijarah, bank menyewakan barang yang dibeli kepada nasabahnya.

http://ekonomi.kabo.biz/2011/11/non-performing-financing-npf.html

http://financial.id/newsreader/1357

https://hho3.wordpress.com/2011/11/24/npf-bank-syariah/

Tinggalkan komentar